1. Penyakit Graves
Definisi
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab
tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai
oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan
gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,
oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.
Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun
Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Faktor
genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-DR3
pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada orang
kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti
penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang
ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat
pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif
Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga
mempunyai reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap
Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody
pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves.
Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin
yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk
terjadinya penyakit tiroid otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering
digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi
fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid
otoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit
Graves, namun sampai saat ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan
tersebut.
Terjadinya
oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi
sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan
tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi
fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot
bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati
Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam
jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans .
Berbagai
gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti
takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin,
terutama epinefrin diduga disebabkan karena
terjadinya peningkatan reseptor katekolamin
didalam otot jantung,
Gejala dan Tanda
Pada
penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa
goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi
hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab,
berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare
dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati
dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata
melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran
klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal
hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus. Perubahan pada mata (oftalmopati
Graves).
Kelas
Uraian
0
Tidak ada gejala dan tanda
1
Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2
Perubahan jaringan lunak orbita
3
Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4
Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5
Perubahan pada kornea (keratitis)
6
Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Pemeriksaan
laboratorium
Autoantibodi
tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun
tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit
Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic
hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan
laboratorium yang jelas. (2)
Untuk
dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan
(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal,
kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin
(T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH).
Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan
sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada
penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel
tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,
sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi
ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi
rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi
kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme,
oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH
sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa
kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).
Pemeriksaan penunjang lain
Pemeriksaan
penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan
diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes
supresi tiroksin.
Daftar
Pustaka
·
Subekti, I, Makalah Simposium Current
Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta,
2001 : hal 1-5
·
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma
Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin
·
PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme,
Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
·
Price A.S. & Wilson M.L.,
Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P., Edisi 4, EGC,
jakarta, 1995 : hal 1049 – 1058, 1070 – 1080
·
Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1,
EGC, Jakarta, 2001 : hal 263 – 265
·
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3, EGC, Jakarta, 2000 : hal 606 – 630
·
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC,
Jakarta, 2000 : hal 2144-2151
·
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus
Dengan Ibu Penderita Grave’s Disease, Majalah Kedokteran Atma Jaya Jakarta, Vol
3, No.1, Jakarta, 2004 : hal 57 – 64
·
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta
Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta, 1999 : hal 594-598
·
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996 : hal
725 – 778
2. Cushing
Syndrome
Cushing
syndrome adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh hiperadrenokortisisme
akibat neoplasma korteks adrenal atau adenohipofisis, atau asupan
glukokortikoid yang berlebihan. Bila terdapat sekresi sekunder hormon
adrenokortikoid yang berlebihan akibat adenoma hipofisis dikenal sebagai
Cushing Disease1.
Sindrom
Cushing sering disebabkan oleh suatu tumor di hipofisis dan hiperproduksi ACTH.
Gejala utamanya adalah retensi cairan di jaringan-jaringan yang
menyebabkan naiknya berat badan dengan
pesat, wajah menjadi tembem dan bundar (moon face), adakalanya
kaki dan tangan gemuk (bagian
atas). Selain itu, terjadi, penumpukan
lemak di bahu dan tengkuk. Kulit menjadi tipis, lebih mudah terluka dan timbul
garis kebiru-biruan (striae). Penyakit ini dapat membahayakan bila tidak
ditangani dengan segera. 2
Gejala
khusus penyakit Cushing adalah adanya mobilisasi lemak dari bagian bawah tubuh,
wajah membengkak, dan potensi androgenik dapat menimbulkan timbulnya jerawat
dan hirsutisme (penumbuhan bulu wajah yang berlebihan). Gambaran wajah tersebut
sering digambarkan seperti “moon face”. Kira-kira 80% pasien juga mengalami
hipertensi ringan akibat efek mineralokortikoid ringan dari kortisol. Selain
itu juga terjadi kenaikan kadar gula darah, lemahnya otot, dan timbulnya
striae. Mungkin pasien juga mengalami osteoporosis akibat berkurangnya endapan
protein pada tulang 3
Pengobatan
sindrom cushing secara langsung dengan melihat penyebab utama dari sindrom.
Secara umum, terapi harus menurunkan sekresi kortisol sampai normal untuk
mengurangi risiko penyerta yang berhubungan dengan hiperkortisolisme. Suatu
tumor harus diangkat jika situasi memungkinkan. Pilihan pengobatan untuk
sindrom cushing endogen adalah reseksi bedah pada tumor penyebab. Terapi utama
untuk sindrom cushing adalah bedah transspenoid, dan terapi utama untuk tumor
adrenal adalah adrenalektomi4.
Apabila
bedah tidak berhasil atau tidak dapat digunakan, seperti yang terjadi pada ACTH
ektopik atau karsinoma adrenal
metastatic, control hiperkortisol bisa dilakukan dengan pengobatan. Namun,
kegagalan pengobatan umum terjadi, dan adrenalektomi bisa diindikasi pada sindrom
cushing yang dimediasi oleh ACTH. Radiasi pituitary bisa bermanfaat jika
tindakan bedah gagal mengatasi penyakit cushing.5
Daftar
Pustaka
1.
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
2.
Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
3.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.
4.
Soedoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus.
Setiati, Siti. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
5.
Adler GK. Cushing Syndrome: Treatment & Medication. Assistant Professor, Department of Medicine,
Division of Endocrinology, Diabetes and Hypertension, Brigham and Women’s
Hospital, Harvard Medical School, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar